Minggu, 22 Maret 2009

bunga kering dari limbah hutan

Sepintas, buah kayu-kayu di hutan seperti bunga pinus, bunga kirai, akar-akar tanaman hutan yang sudah mati, bagi sebagian besar orang tak lebih dari seonggok sampah yang hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar saja. Namun, bagi warga Sadengpasar Desa Babakansadeng, limbah sampah ini merupakan berkah. Mereka menyulapnya menjadi rangkaian bunga yang indah, sehingga menghasilkan rupiah bagi kelangsungan hidup mereka. Bagaimana kisahnya?
Seni merangkai bunga tak hanya di kenal di Jepang dengan seni Ikebananya. Namun, masyarakat pelosok di wilayah Bogor Barat tepatnya di Kampung Sadengpasar RT 1/3 Desa Babakansadeng Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor telah menggeluti kerajinan merangkai bunga kering sejak delapan tahun silam.
Yang perlu diacungi jempol, bunga-bunga rangkaian warga pelosok Bogor Barat ini terbuat dari limbah-limbah hutan dan kayu serta akar-akaran yang sudah mati seperti pohon palm, akar handam, bunga cemara, bunga pinus, buah lamoko, buah kirey dan akar-akaran pakis dan lain sebagainya.
Sebelum di rangkai, bagian-bagian tanaman itu tak terlihat keistimewaanya, namun, setelah melalui sentuhan tangan-tangan kreatif dengan tambahan pewarna yang warna, sampah-sampah itu menjadi rangkaian bunga yang indah dan bernilai tinggi. Makanya, tak heran bila peminat bunga-bunga kering ini adalah kalangan menengah keatas.
Cacu Samsu adalah salah seorang pengrajin bunga kering di kampung tersebut. Cacu menceritakan bahwa awalnya pembuatan bunga kering itu hanya iseng-iseng untuk memperindah ruangan rumah sendiri.
seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan ide kreatif muncul, dengan menggabungkan bersama bahan lainnya. Hasilnya, memeng maksimal dan menjadi indah. Sebelumnya, tak terpikirkan oleh Cacu untuk memperjuahl belikan bunga tersebut. Berawal dari banyaknya pesanan pembuatan bunga kering dari tetangganya, maka ia bersama rekan-rekannya mulai memasarkannya.
Cacu, di kampung Sadengpasar itu masih ada 13 orang lagi yang memiliki keahklian serupa. Makanya, untuk mempermudah komunikasi, para pengrajin bunga kering di Kampung Sadengpasar ini telah membentuk kelompok sendiri yangt diberi nama Kelompok bunga kering Purnama. Pembentukan kelompok ini pun berjalan secara alamiah, karena perhatian pemerintah akan hasil kerajinan masyarakat ini sangat kurang. Bahkan, selama delapan tahun mengeluti kerajinan ini, belum ada satu pun pejabat yang melihatnya.
karya putra Bogor Barat ini sudah masuk ke pasararan luar negeri seperti Malaysia, Singapura bahkan hingga ke Timurtengah. Namun, Pemkab belum bisa memaksimalkan potensi itu menjadi komoditas penguatan perekonomian masyarakat. Sedangkan untuk pasar domestik meliputi Tanah Abang, Pasar Baru dan Wilayah Jabodetabek. Cacu menambahkan setiap bulannya kelompok pengrajin bisa memproduksi 700 buah rangkaian bunga kering. Pemasaran hasil karya para pengrajin ini disalurkan ke wilayah Jakarta dan Bogor. Satu pas bunga hasil rangkaian itu dijual antara Rp40.00 sampai Rp50.000/buah. (*)

Rabu, 04 Maret 2009

Menelusuri Perkampungan Terisolir di Taman Nasional Gunung Halimun

Siapa sangka di tengah Taman Nasional Gunung Halimun kecamatan Nanggung terdapat beberapa pemukiman penduduk. sedikitnya, ada sepuluh kampung yang tersebar di kawasan ini. seperti apa mereka menjalai kehidupannya sehari-hari?

Awan di atas gunung halimun yang terletak di kecamatan Nanggung kabupaten Bogor mulai menghitam, tandanya sebentar lagi akan turun hujan. Namun, aktifitas beberapa warga kampung Nirmala yang sebagaia besar bermata pencaharian pemetik teh ini tak sedikit pun terganggu.
Puluhan pemetik teh yang semuanya adalah ibu rumah tangga itu terus menyemut menyusuri pepohonan teh yang tumbuh di lereng perkebunan miklik PT Nirmala ini, perkebunan itu merupakan salahsatu perkebunan teh yang dikelola oleh pihak swasta sejak tahun 1971 lalu.
perkebunan itu, sebelumnya adalah milik warga sekitar, karena perkebunan itu dibiarkan terbengkalai dan ditinggalkan oleh pemerintahan belanda. setelah Belanda meninggalkan negeri ini, perkebunan itu, di serahkan kepada warga sebagai penggarap. dimana setiap kepala keluarga memperoleh sekiatar 2 hektare kebun teh.
Namun, perkebunan yang digarap oleh warga ini tak berjalan mulus. hasil produski dan penyakit teh mualai berdatangan, karena sebagain petani malas memelihara, dan pohon teh tersebut hanya diambil hasilnya saja. Nah, setelah tahun 1971, maka perudahaan membeli semua kebun teh warga, yang masih bertahan hingga sekarang.
Tangan-tangan terampil itu, kembali memunguti pucuk-pucuk teh, di tengah sengatan mentari, puluhan ibu rumah tangga ini menyimpan sebuah harapan bahwa pada pertengahan bulan ia akan mendapat upah dari hasil keringatnya. meskipun upahnya itu hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
"Ya mas tinggal disini mau kerja apa lagi, meskuipun penghasilan kami pas-pasan, tapi untuk makan mah cukuplah," ujar Sutinah pemetik teh asal Garut yang sudah sepuluh tahun tinggal di Nirmala.
Sutinah menuturkan, penghasilan pemetik teh, rata-rata 600 kilogram sampai 1,5 ton teh per bulannya, dengan upah Rp 450 per kilogramnya. jika dijumlahkan sekitar Rp 450 ribu rupiah per bulan. penghasilan etrsebut jelas tak mencukupi, beruntung pihak perusahan menyeduiakan rumah bagi mereka. "Rumah dan listrik, dari perusahaan, meskipun hanya alakadarnya, itu sudah cukup membantu," tambahnya. (*)

Jauhnya pekampungan mereka dengan pasar dan pusat keramaian, mengakibatkan harga bahan pokok melambung hingga 150 persen. untuk mengantisipasinya, mereka menyetok persedian selama satu bulan.
Ketika hari mulai sore, dipuncak gunung, kabut tebak mulai terlihjat merangkal menuruni pucuk daun teh, lambat laun kabut tebal itu masuk atap rumah warga di kampung Nirmala desa Malsari kemcatan Nanggung, udara dingin pun rasanya menusuk hingga ke tulang.
Sesaat kampung yang dikelilingi kebun teh itu, mulai gelap. sore itu waktu menungjukan pukul 16:30 WIB, namun, awan hitan dan kabut tebal yang memenuhi langit, seakan sudah masuk waktu malam hari. kegelapan kampung itu diperparah dengan tak adanya penerangan di kampung mereka. meskipun sudah ada pasokan listrik dari perusahaan, namun, aliran listrik itu mulai dilirkan ke tiap rumah sekitar pukul 17:00 WIB.
"Belum saatnya lampu nyala mas, nanti sebentar lagi, jam lima," kata seorang kakek yang dari tadi menunggu diserambi rumah mereka yang terbuat dari bilik bambu.
Waktu pun berlalu begitu cepatnya, Radar Bogor bersama tim dari UPTD pendidikan Nanggung, menghabiskan malam itu di tengah dinginnya malam perkebunan teh.
suara ayam mengugah dan membangunkan rombongan tim, pagi pun menyongsong aktifitas warga. suara erangan kambing yang menandakan ia minta makan, menjadi satu suasana perkampungan yang menarik dan khas. Kandang kambing itu terletak dibelakan perkampungan, lokasinya berderet dan jauh berada dibawah tebing.
Para ibu sibuk mempersiapkan makan pagi bagi anak-anak mereka yang hendak pergi kesekolah, dan mempersiapkan suami mereka yang sebentar lagi meladang. tak banayk yang mereka persiapkan, hanya makanan seadanya.
"Kami hanya belanja sekali dalam sebulan, karena di sini ngak ada pasar, jika pun haru belanja, kami harus mengumpulkan dulu uangnya untuk ongkos," ujar Sutinah yang rumahnya berada paling ujung.
Ia menuturkan, jika harga harga satu barang di pasar Rp 4000, maka di tempatnya kampungnya seharga Rp 12.000. Nah, untuk persiapan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, biasanya Sutinah menyetok bahan makanan untuk satu bulan.
"Kami menyetok barang untuk satu bulan, dan jika kami beklanja makanan yang tak kuat lama, bisanya langsung dihabiskan saja dalam sehari," pungkas Sutinah. (*)

Jika di kampung Nirmala dan sekitarnya, warga menaruhkan hidupnya pada perkebunan teh, di sebelahnya, tepatnya di Kampung Cilangar dan lima kampung lainnya mereka andalkan hasil pertanian dan berladang.
Teriknya sinar mentari pada Minggu siang (1/7), tak menyurutkan tim Radar Bogor menghentikan penjelajahannya ke Kampung Cilanggar desa Bantarkaret kecamatan Nanggung, kampung yang terletak wilayah paling ujung di kecamatan Nanggung ini, terletak tebingan dengan kemiringan diatas 40 derajat.
Nuansa pedesaan sangat terasa sekali, ketika Radar Bogor bersama rombongan meninggalkan hamparan kebun teh yang terlhat bak permadani yang dihamparkan. sebelum memasuki kampung Cilanggar, kampung pertama yang dilewati adalah kampung Garung, kemudian ke kampung Legokbatu. Keramahan warga sekitar dalam menyambut tamu yang datang sangat terasa dan menambah semangat tim untuk melanjutkan perjalanan.
sepanjang jalan yang berkelok, sesekali Radar Bogor berpapasan dengan rombongan orang yang berbadan tegak dengan sepatu boot di tambah golok panjang di pinggang. "Itu adalah para Gurandil (penambang emas Tradisonal red.), mereka baru pulang," ujar salah seorang dari UPTD Pendidikan Nanggung yang menamani Radar Bogor.
Berbeda dengan kampung sebelumnya yang disinggahi Radar Bogor, yakni di kampung Nirmala, Legokjeruk, Pasirbanteng, Malani, Garung, Neglasari, Citalahab Hanjawar dan Central, desa Malasari mereka mengandalkan kehidupannya dari perkebunan teh milik PT Nirmala Agung.
Sekitar 10 kolimeter dari perkampungan itu, ada blok Cihanjawar yakni perkapungan Keramat, tangkurak, Legokbatu, Purut, mereka mengandalkan dari hasil pertanian yang mereka garap sendiri. jalan yang menghubungkan ke kampung mereka pun masih beupa bebatuan kasar.
Karena listrik desa belum masuk ke kampung tersebut, warga sekitar memanfaatkan tenaga generator, dari sungai Cijambu yang mengalir ke kampung mereka. (*)


Laporan Faisal Hilmi saat mengunjungi Taman Nasional Gunung Halimun Kecamatan Nanggung kabupaten Bogor pada Juli 2007 *)

Mengintip Para Pengrajin Tikar Pandan Rumpin

Sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu


Para perajin tikar dari daun pandan, atau samak pandan asal Kecamatan Rumpin nasibnya kian merana. Produksi mereka kalah bersaing dari tikar-tikar yang dibuat dari bahan plastik atau karpet yang sekarang sangat mudah di dapat di tiap pasar. Namun, puluhan pengrajin tikar pandan di Desa Cidokom ini terus berjuang mempertahankan usaha mereka, karena pekerjaan inilah satu-satunya pekerjaaan yang mampu menafkahi keluarga. Bagaimana Kisahnya?

Beberapa waktu lalu, Penjabat (Pj) Bupati Bogor Soemirat pernah mengatakan bahwa kabupaten Bogor ini sangat kaya akan potensi alamnya. Dan bila potensi itu bisa dimanfaatkan dengan baik, maka Kabupeten Bogor sebagai etalasenya Jakarta akan kaya akan hasil alamnya seperti berbagai kerajinan masyarakat. Ya, seperti yang dilakukan oleh ratusan ibu rumah tangga di kampung Siang Ganjor 03/04 desa Cidokom kecamatan Rumpin yang memanfaatkan kekayaan alamnya yakni Pandan liar menjadi hasil kerajinan yang indah dan bermanfaat yakni tikar pandan (samak pandan).

Kampung Siang Ganjor ini berseberangan dengan Desa Ciaruten Udik tempat situs batu Tulis Mulawarman. Letak kampung ini jauh dari pusat kota. Tak ada ingar-bingar keramaian di sini. Namun, sebagian besar masyarakatnya mempunyai keterampilan menganyam tikar, yang bahannya dari daun pandan. Profesi dan kepandaian ini mereka peroleh secara turun-temurun.

Dulu, untuk menuju ke kampung Siang Ganjor Desa Cidokom ini, cukup sulit, karena harus menyebrangi dulu sungai Cidanane dengan menumpang rakit. Namun, Setelah dibangun jembatan yang terhubung dengan desa Ciaruten Udik kecamatan Cibungbulang, untuk menuju desa pengrajin tikar pandan ini tak begitu sulit.

Hampir semua ibu rumah tangga di kampung tersebut memiliki keterampilan membuat tikar pandan. “Hanya yang memiliki anak kecil (bayi, red) saja yang tak membuat tikar teh,“ ujar Wiwin Yaswinah (30) salah seorang pengrajin tikar dengan logat sunda yang kental.

Dengan perkembangan jaman, usaha yang dijalani bersama ratuas ibu rumah tangga lainnya semakin sulit. Tentu saja secara perlahan mulai berkurang, mereka yang menguasai dan menekuni usaha anyam-menganyam ini.

Wiwin menegaskan, bahwa ia bersama ibu rumah tangga lainnya terpaksa terus menganyam walaupun pemasaran tikar daun pandan tersendat, tetap melakukan kegiatan setiap harinya. Meskipun, proses pembuatan tikar pandan dari awal hingga sampai pemasaran memakan waktu lama dan biaya yang cukup besar.

Satu helai tikar dengan ukuran 3 x 3 meter ini dikerjakan dalam waktu satu minggu. Namun ini tidak termasuk proses memperkecil daun pandan dan menjemur yang menyita waktu sampai sehari.

Tikar hasil produksi mereka dipasarkan oleh penjaja keliling. Biasanya, bagian pemasaran ini masih karib-kerabat mereka sendiri. Harga tikar ditentukan berdasarkan besar kecilnya. Tikar berukuran kecil dijual dengan harga Rp 60.000 dan tikar yang lebih besar dapat dibeli dengan harga Rp 70.000. (*)